Tidak tentu
arah. Itulah yang saya rasakan ketika tamat SMA terus apa? Kuliah?
Sebagai seorang yang sangat suka belajar. Tentunya kuliah menjadi bagian yang paling sangat diinginkan. Bahkan semasa SMA pun sudah mengimpikan jurusan yang diidam-idamkan. Sayangnya, hanya sekedar impian dan tidak tahu menemukan jalan untuk menggapainya. Sungguh miris sekali ketika.
Tahun 2015. Ia hadir sebagai pengobat kerinduan pada hati yang merintih tentang kecintaan pada ilmu pengetahuan. Berusaha tidak menepis segala takdir yang datang dan menggiringnya ke langkah yang berbeda. Ketika orang lain memilih mundur dan mencari masa depannya sendiri. Saya tetap bertahan pada masa depan yang tidak kunjung diinginkan.
Salah jurusan membuat saya mendadak suka menulis dan berimajinasi seolah saya masih tetap menyukai bidang yang saya sukai. Sehingga tertuanglah pada kisah Physics NotDoctors yang berarti fisika bukanlah dokter. Pembahasan secara ilmiah dan susah dimengerti pun tertuang di bab pertama yang berjudul MRI atau CT Scan.
Beberapa teman saya yang sesama penulis pun mulai memberikan saran untuk memperhalus lagi gaya penyampaian saya. Revisi? Revisi menurut saya jauh lebih berat daripada langsung menulis. Mulai dari pembacaan ulang kalimat yang rancu hingga tata Bahasa yang sesuai.
Physics Not Doctors bukan hanya menyinggung mesin MRI yang digunakan untuk mendeteksi kerusakan pada tubuh manusia saja, tetapi mengulik teknologi kedokteran lainnya yang dihubungkan secara fisika. Seperti stetoskop dan Sinar X. Pembahasannya tergolong berat dan lebih cocok dituangkan secara non fiksi.
Hingga kini saya masih membiarkannya mejeng di Wattpad. Kemudian berencana untuk merevisinya supaya lebih menarik di kemudian hari. Setelah lima tahun lamanya, naskah tersebut barulah selesai. Itu pun diikutkan kompetisi menulis oleh GMG Challenge.
Physics NotDoctors bukanlah kisah halu semata yang tidak kesampaian. Beberapa reka kejadiannya merupakan kisah nyata yang saya alami dan mengemasnya menjadi sesuatu yang berbeda. Meskipun konfliknya sangat absurd. Saya merasa novel ini merupakan novel berkesan yang saya miliki. Sebagai cerita pelengkap perjalanan saya melalui masa sulit menemukan jati diri.
Sebagai seorang yang sangat suka belajar. Tentunya kuliah menjadi bagian yang paling sangat diinginkan. Bahkan semasa SMA pun sudah mengimpikan jurusan yang diidam-idamkan. Sayangnya, hanya sekedar impian dan tidak tahu menemukan jalan untuk menggapainya. Sungguh miris sekali ketika.
Tahun 2015. Ia hadir sebagai pengobat kerinduan pada hati yang merintih tentang kecintaan pada ilmu pengetahuan. Berusaha tidak menepis segala takdir yang datang dan menggiringnya ke langkah yang berbeda. Ketika orang lain memilih mundur dan mencari masa depannya sendiri. Saya tetap bertahan pada masa depan yang tidak kunjung diinginkan.
Salah jurusan membuat saya mendadak suka menulis dan berimajinasi seolah saya masih tetap menyukai bidang yang saya sukai. Sehingga tertuanglah pada kisah Physics NotDoctors yang berarti fisika bukanlah dokter. Pembahasan secara ilmiah dan susah dimengerti pun tertuang di bab pertama yang berjudul MRI atau CT Scan.
Beberapa teman saya yang sesama penulis pun mulai memberikan saran untuk memperhalus lagi gaya penyampaian saya. Revisi? Revisi menurut saya jauh lebih berat daripada langsung menulis. Mulai dari pembacaan ulang kalimat yang rancu hingga tata Bahasa yang sesuai.
Physics Not Doctors bukan hanya menyinggung mesin MRI yang digunakan untuk mendeteksi kerusakan pada tubuh manusia saja, tetapi mengulik teknologi kedokteran lainnya yang dihubungkan secara fisika. Seperti stetoskop dan Sinar X. Pembahasannya tergolong berat dan lebih cocok dituangkan secara non fiksi.
Hingga kini saya masih membiarkannya mejeng di Wattpad. Kemudian berencana untuk merevisinya supaya lebih menarik di kemudian hari. Setelah lima tahun lamanya, naskah tersebut barulah selesai. Itu pun diikutkan kompetisi menulis oleh GMG Challenge.
Physics NotDoctors bukanlah kisah halu semata yang tidak kesampaian. Beberapa reka kejadiannya merupakan kisah nyata yang saya alami dan mengemasnya menjadi sesuatu yang berbeda. Meskipun konfliknya sangat absurd. Saya merasa novel ini merupakan novel berkesan yang saya miliki. Sebagai cerita pelengkap perjalanan saya melalui masa sulit menemukan jati diri.