Tanggal
cantik di permulaan bulan Februari. Aku berulang tahun. Berharap tidak kembali
ke masa lalu yang silam dan melupakan hal paling penting dalam hidup. SIM atau
surat izin mengemudi. Justru tanpa sadar kulupakan pada tahun lalu. Sedangkan
kini, aku sudah mempersiapkannya lebih awal. Tidak harus terikat dengan tanggal
satu.
“Henny,
peserta kita cuma satu orang saja. Enggak apa-apa itu?” Dalmi memberitahu.
Kedua bola matanya masih memindai sosial media penaku dengan laptop yang ia
miliki.
“Syukurlah
walau hanya satu orang. Berarti hanya dia seorang pemenangnya. Walaupun
sebenarnya tidaklah asyik.” Hanya saja, entah kenapa pemikiranku begitu primitif
pada waktu itu. Apakah ini gagal? Tidak-tidak, tidak ada kegagalan yang sesuai
dengan pekara ini.
Dalmi,
salah satu sahabat penaku. Ia lebih banyak kesibukan sebenarnya. Kalau
menyangkut prioritas, ia akan berusaha menyempatkan waktu untukku. Bahkan,
ketika sudah memiliki calon suami yang sedang mengajak ta’aruf pun ia juga
mengabari lebih dulu. “Pengumumannya besok ya? Eh, itu hari ulang tahunmu.”
“Hehe,
iya nih Mi. Mau bagaimana lagi. Ah, entah kenapa aku memilih tanggal itu dalam
mengadakan acara. Benar-benar menganggu hari spesialku saja,” protesku
bermaksud pada diri. Rasanya sungguh tidak enak menimang tanggung jawab dan
beban.
“Seenggaknya
bisa dijadikan referensi untuk tahun depan. Bulan Februari ini asyik sebenarnya
nih. Tanggal yang paling sedikit di antara bulan yang lainnya. Emang mau
ngapain kalau enggak ada acara?”
“Yah,
seenggaknya aku bisa tidur sepuasnya Mi. Paling tidak menonton drama kesukaanku.
Pokoknya dibuat santailah.” Santai, itu pemikiranku yang paling relevan.
Sedangkan pemikiran alam bawah sadar membujuk rayu mengadakan syukuran. Sedekah
misalnya.
Ia menutup laptop yang menyala. Tugasnya telah
selesai dan jari jemari sigap menata barang di depan meja. “Oh, begitu ya. Aku
enggak bisa kemari nih besok. Kalau ada waktu, ke tempatku ya Henny.”
“Ngapain?”
tanyaku pura-pura tidak tahu. Aku tidak ingin merepotkan orang lain saja
perihal hari spesialku. Misalnya mempersiapkan kado untukku. Alih-alih mereka
yang berusaha untuk membahagiakanku, aku lebih bahagia lagi kalau membuat orang
lain bahagia.
“Yah,
main-main saja Henny.”
Aku
yakin sekali. Dalmi hanya berusaha memanipulasi keadaan esok hari. Tetap saja,
jiwa kepekaanku meronta. “Enggak bisa janji ya Mi.”
“Iya,
aku paham,” jawabnya pasrah dan meletakkan laptop ke dalam tas. “Kalau begitu,
aku pulang dulu ya.”
“Iya.
Hati-hati ya Mi,” ucapku turut bangkit dan mengantarnya sampai di depan rumah.
Gadis itu terlihat sangat sibuk hari ini. Pertemuan daringnya sudah terjadwal
untuk akhir bulan ini. Belum lagi banyak deadline
yang harus ia penuhi. Alasannya sungguh tidak relevan sekali jika aku harus
main-main di rumahnya besok.
Sayang
banget ya, besok itu hari senin. Cocoknya orang pada bekerja dengan semangat
juang yang sudah terkumpul. Eh, aku malah ulang tahun. Ah, enggak apa-apalah.
Setidaknya aku bisa puasa senin besok. Semoga saja bisa terpenuhi.
“Ngapain?”
tanya Mama mengintimidasi sore ini.
Aku
sedang menimbang bahan donat dengan sepenuh hati. Barangkali bisa kuberi pada
Dalmi besok. Lumayan kan. Setidaknya ia bisa memakan kue buatanku. “Biasa Ma,
buat donat.”
“Eh,
ciye. Besok ulang tahun ya. Kubuatin bolu ya nanti malam,” tawar Fadila.
“Kalau
mau buat, sekarang aja Dil. Biar nanti malam tinggal langsung makan.” Aku
mencoba bernegosiasi. Membuat kue seperti ini bukannya sekali, dua kali.
Kelamaan di proses lebih tepatnya.
“Nanti
malam ajalah Kak.” Fadila masih tetap pada pendiriannya.
Baiklah,
baik. Ini juga ulang tahunku. Bukan ulang tahunnya. Sudah sepantasnya aku
mempersiapkan ini semua. Termasuk pengolahan yang penuh cinta.
Jam
sudah menunjukkan hampir sepuluh malam. Donat yang kugoreng telah selesai. Ah,
tubuhku sudah merasa kelelahan. Akhirnya aku baru menyadari bahwa keputusanku
sungguh cetek. Tugas mengunjungi blog teman belum selesai.
Aku
melihat komentar blogku yang sudah masuk ketika waktu hampir tengah malam.
Wuah,
selamat ya. Saya curi start dulu nih. Selamat ulang tahun ya Henny.
Tersenyum, tentu saja. Ada sedikit
kebahagiaan yang tersisip beriringan rasa takut. Takut mengenggam tanggung
jawab di umur yang tidak lagi muda. Dua puluh tiga tahun. Kalau disuruh kerja,
haruslah sudah siap. Apalagi menikah, eh. Umur saja yang tua, tetapi kesiapan
dan kelayakan masih belum lagi. Bahkan hingga kini aku juga belum kunjung tamat
kuliah.
Pas
bangetlah nih. Saya pun bacanya pas di jam 00.00 WIB
“Ho,
ngantuk juga nih. Waktunya tidur. Lagian besok masih ada hal lain yang harus
dikerjakan.” Laptop sudah ditutup sebagaimana mestinya, donat juga sudah di
masukkan ke dalam kotak penyimpanan.
Bangun
pagi dan jangan lupa mandi pagi. Aku ke dapur setelah itu dan berniat untuk
memakan donat yang telah dibuat tadi malam. Lapar juga nih.
“Donatnya
lembut nih, Ni.” Mamaku mengunyah donat pagi-pagi.
Tentu
saja masih lembut, namanya juga baru dibuat sehari. Tiga hari kemudian baru
keras. “Lah, mana semua nih donatnya?” Tersisa tinggal empat buat dari total
dua puluh lima donat. Ngeri juga yang makan. Emang sih, di rumah ini ada lima
orang. Itu sudah terhitung diriku.
“Eh,
enggak jadi kubuat kuenya Kak. Ketiduran,” keluh Fadila.
Aku
sudah memahami sejak awal, tidak mengapa. “Yaudah, sebagai gantinya hiasin
donatnya ya.” Ingin gantian juga belajar daring pagi-pagi begini. Langkahku
segera ke kamar dan membuka laptop.
Jempol
kananku usil menekan aplikasi pesan berwarna hijau. Dalmi mengirimi sebuah
video.
Jadi, gimana? Siapa yang lebih dulu
mengucapkan selamat ultah.
Dia
mengirimkannya sekitar aku bangun tidur tadi. Kira-kira jam lima pagi.
Yang kedua sih. Hehe ,,,
“Maaf
ya Dalmi. Aku enggak bisa berbohong nih,” ucapku seketika pada gawai. Jelas,
tidak ada jawaban setelahnya.
“Nah
Kak. Ini donat yang terakhir.” Fadila menyodorkan sebuah donat yang dihiasi
namaku. Sungguh cantik.
“Lah,
mana lagi yang lain?” Seingatku masih ada beberapa.
“Habis.”
Yah,
bagaimana bisa kuberikan kepada Dalmi kali ini? Gagal deh kalau begitu. Benaran, aku enggak
jadi ke rumahnya hari ini. Hari ini kutepati pula keputusan yang telah lampau.
Mengirimkan hadiah bagi peserta yang memenangkan sebagai pengulas terbaik. Oh,
donatku. Oh, kantongku kering kerontang. Oh, aku lupa puasa senin.
Selesai
Cerita ini adalah fiksi yang diikutsertakan dalam lomba Blog Menulis Fiksi "Ulang Tahun" yang diselenggarakan oleh Komunitas Blogger Semarang Gandjel Rel
Kupikir lah memang ultahmu dek..
ReplyDeleteDah berniat tadi ngucapin selamat ultah di komen.
Ternyata cerpen...
Gapapa juga sih heheheh
Semoga menang ya
sejujurnya memang iya. Heheh ... hanya dikemas dalam bentuk cerita pendek saja . :)
DeleteSelamat ulang tahun ya hen, alangkah mantapnya ultahnya dibuat momen tulisan cerpen. Langka ini. Semoga apa yg diinginkan terwujud yaa
ReplyDeleteAamiin ya rababal alamiin.
DeleteTosss kita Februari. Alhamdulillah pertengahan Februari pula dapatnya Eike.. barakallahu fi umrik ya dek. Semoga selalu dilimpahi keberkahan.. Aamiin
ReplyDeleteWuah, keren. Aamiin ya rabbal alamiin. Barakallah Fii Umrik juga kak. Semoga yang disemogakan tercapai. Sehat selalu, bahagia selalu, dan dilimpahkan keberkahan dalam hidup.
DeleteSelamat ulang tahun Henny. Berkah selalu umurnya yaaa.. Btw, tadi galfok ama nama dalmi,, wkwk.
ReplyDeleteAamiin ya rabbal alamiin. Eh, heheh Dalmi di start up ya? Setelah dipikir pikir nama Dalmi bisa juga ala Indo.
DeleteWaah, umur kita sama, tapi tahun lalu😂 selamat ulang tahun Henny!
ReplyDeleteSelamat ulang tahun yaa Henny,, berarti shionya kelinci nih hehe... Samaan sm suami n anak saya nomor 3, barakallah fi umrik yaa
ReplyDelete