Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Banyak pula orang-orang mempertahankan cara mereka berbicara di lingkungan sekitar dengan bahasa daerah. Namun ada juga yang bahkan bahasa daerah pun tidak memahami bahasa dari sukunya sendiri.
Saya teringat saat dulu masa
kuliah di Universitas Negeri Medan. Kala itu banyak Mahasiswa berasal dari
kampung pedalaman. Mereka kalau berbicara dengan bahasa Indonesia terkadang
saya pun bingung, saking medoknya logat bahasa daerah. Seringkali penyampaiannya
menjadi salah tafsir. Namun saya sendiri yang merupakan orang Jawa, malahan tak
bisa berbahasa Jawa sepenuhnya. Kalau memahami bahasa Jawa malahan hanya
sedikit sekali.
Semasa Sekolah Menengah Pertama saya
pernah bertanya sama Mama di rumah. “Mak, kenapa kami enggak diajarin bahasa
Jawa ya?” tanyaku polos ingin tahu. Sembari berharap Mama enggak marah kalau
saya bertanya seperti itu.
“Mama takut kalian nanti malu
kalau ngomong Jawa. Nanti kalian malu enggak bisa bahasa Indonesia.”
Saya menurut apa perkataan Mama
pada waktu itu. Mungkin ada benarnya juga karena kita disatukan oleh Bahasa
Indonesia. Semua orang banyak yang memahami dibandingkan bahasa daerah. Sebagai
Puja Kesuma alias Putri Jawa Kelahiran Sumatera memang tidaklah mudah untuk
mempertahankan logat yang lembut ala Jawa. Makanya saya sangat kaget ketika
berbicara langsung dengan orang yang berasa di Jawa sana. Masyaa Allah, begitu
sopannya mereka. Beda dengan saya yang bawaannya ingin tegang urat kalau
berbicara. Enggak bisa berbicara dengan nada yang lembut.
Sejak bertemu dengan Forum
Lingkar Pena tahun 2019 yang lalu. Hidup saya menjadi berubah. Saya memiliki
pandangan lain terhadap literasi. Literasi tidak hanya dengan bacaan novel
daring yang saya baca, tetapi dari banyak sisi. Sebagai anak baru tentunya
menggerakkan hati untuk selalu penasaran dengan apa yang ada. Termasuk membaca
setiap pesan yang masuk di grup besar FLP Sumatera Utara.
Saya yang minim ilmu pengetahuan
lantas terpukau dengan gagasan yang mereka sampaikan. Begitu fasih dan kaya
akan data. Bukan hanya apa yang ingin disampaikan, tetapi berkenaan dengan
pengetahuan yang ada sebelumnya. Sehingga mengajak saya untuk rajin membaca
artikel berita.
Dulunya saya merasa suka dengan
bahasa Inggris. Namun semenjak memutuskan menjadi seorang penulis. Justru saya
merasa banyak hal yang harus dipelajari dari Bahasa Indonesia itu sendiri.
Sebab ternyata lebih menarik lagi mengolah kata supaya enak didengar dan
dibaca. Apalagi banyak kata perumpamaan seperti sinonim ataupun padanan kata. Semakin
banyak bacaan yang dibaca, maka semakin banyak pulalah pembendaharaan kata yang
tersimpan dalam benak.
Pernah suatu ketika saya ditanya
oleh Mama dalam kondisi saya amat jarang berbicara di rumah. Palingan kalau
berbicara hanya sepenuhnya. Lantas, saya malah menjawab dengan lancar dan tahu
apa yang disampaikan tanpa terbelit-belit. “Kok bisa ngomong lancar begitu?”
Saya hanya cengar-cengir sembari menjawab,
“karena baca.” Padahal kalau dipikir-pikir enggak pernah berbicara, kalau
disuruh berbicara kan rasanya amat susah. Itulah mengapa berbicara pun kadang
harus latihan dulu supaya tidak mempermalukan diri sendiri.
Menurut Kemendikbud yang
diterbitkan di Jakarta, 8 April 2022. Perkembangan Bahasa Indonesia terus
meningkat pesat bahkan melebihi bahasa induknya, yaitu bahasa Melayu. Bahasa
Indonesia memiliki sisi historis (sejarah), hukum, dan linguistik. Masih ingat
sekali bahwa penulisan huruf ‘u’ dulunya bereja ‘oe’, contohnya ‘zaman doeloe’
Bahkan di tingkat Internasional,
bahasa Indonesia telah menjadi bahasa terbesar di Asia Tenggara dan
persebarannya telah mencakup 47 negara di seluruh dunia. Sempat juga terpikir,
apakah bahasa Indonesia bisa menjadi bahasa Internasional?
Kebetulan sekali di bulan Oktober
ini identik dengan bulan bahasa. Forum Lingkar Pena dan Bulan Bahasa 2023 turut
menyemarakkan suasana untuk menggerakkan hati supaya bangga dengan Bahasa Indonesia. Begitupula
dengan yang disampaikan oleh Sumpah Pemuda jatuh pada tangga 28 Oktober 1928 yang
berisikan salah satunya tentang menjunjung bahasa persatuan, bahasa
Indonesia.
Maka memang sudah seharusnya kita
bangga dengan Bahasa Indonesia sehingga memudahkan kita untuk berinteraksi satu
sama lain. Kalau kita tetap berpendirian teguh untuk tetap menggunakan bahasa
masing-masing. Enggak terbayang saja bagaimana ribetnya harus mempelajari
banyak bahasa dari tetangga ke tetangga supaya bisa nyambung berbicara.
Sumber referensi :
kemendikbud.go.id