Bagaimana rasanya menjadi seorang penulis, tapi enggak menulis
karena banyak kegiatan?
Serangkaian waktu telah berlalu dan selama ini kalau
berbicara hanya lepas landas saja, hingga pada akhinya orang-orang menyatakan kamu ngomong apa?
Sakit sedikit nian, walaupun sebenarnya tidak terlalu
mengganggu. Namun yang namanya hati selalu menyimpan perasaan itu sedikit demi
sedikit hingga yang ditakutkan adalah pecah di suatu masa. Apakah itu pernah
terjadi?
Tentulah reputasi di masa lalu tidak bisa dibohongi. Bahkan
masa depan secerah apa pun, sebab pola kehidupan bisa terjadi lagi di masa depan.
Pekara mengubah hidup itu tidaklah mudah. Bahkan ketika kita telah membangunnya
hari demi hari, tapi bisa saja roboh dalam waktu sekejab.
Empat bulan telah berlalu. Saya kini telah pindah sekolah
mengajar. Tidak lagi di sekolah dasar. Alih-alih ingin memiliki banyak waktu,
nyatanya harus terikat waktu pergi gelap dan pulangnya pun gelap. Ibu saya
mengatakan bahwa, habis dari lubang buaya, masuk ke mulut harimau. Begitulah
ungkapan yang ia layangkan kepada saya.
Saat itu saya menyadari bahwa jangan mengira bahwa hijrah
itu menyenangkan atau malah tenang seperti air danau, melainkan bisa saja
sederas air terjun. Itu berarti semakin banyak lika-likunya dan beragam yang
dilakukan. Termasuk rasa sepenuh hati dalam mengerjakan sesuatu.
Bolak-balik, saya ingin melambaikan tangan menandakan
ingin menyerah, tetapi saya harus mengingat bahwa menjadi pengangguran itu
lebih menyakitkan. Lebih tertekan batin, sudah tak berduit, eh malah tertekan
oleh omongan sekitar. Tak tahan saja rasanya, walaupun sebenarnya sibuk menjadi
seorang penulis yang entah kapan menghasilkan cuan sepadan dengan gaji
kantoran.
Menulis cara jitu untuk waras
Hanya dengan menulis, saya mampu merangkai kosakata dan
belajar berbicara dengan runtun. Terlebih lagi untuk mengekspresikan perasaan
yang sulit dijelaskan dengan segala sesuatu yang menyesakkan dada. Namun kalau
masalahnya enggak sempat menulis, perkaranya bukan di waktu, tetapi sebuah
prioritas dalam kehidupan.
Penulis, semoga
menjadi iya.
Sahabat kecil saya mengatakan sesuatu sewaktu saya
berkunjung ke rumahnya yang ketika itu dia sedang hamil 11 minggu. Sahabat
kecil selalu menjadi saksi nyata dalam memperhatikan perkembangan diri temannya
selain orang tua dan orang terdekat. Saat itu ungkapannya sedikit nyelekit. “Mau
sampai kapan kamu akan terus menjadi penulis? Sudah lama sekali Henny, orang
tua pasti mikirnya yang terbaik.”
Saya terdiam dan menjadi perenungan dalam hidup. Apa yang
dia sampaikan itu memang ada benarnya. Saya sudah mengikrarkan diri menjadi
penulis sejak tahun 2018. Sejak orang-orang tidak mau bertukar pikiran dan
menjadi tempat bersandar kepada hati yang sedang terombang-ambing pasal
kehidupan. Namun tulisan itu pula yang selalu menuntun saya menjadi orang baik.
Termasuk asupan bahan bacaan untuk menunjang peningkatan dalam hidup. Pekara
itu, insyaa Allah akan saya bahas di
segmen selanjutnya.
Mengapa bisa berubah?
Empat bulan lamanya bukanlah waktu yang sebentar. Terlebih
lagi sudah terbangun karakter pada diri yang ketika itu motifnya banyak tidur,
kecapean, pokoknya segala 5l itu bernaung pada diri saya. Hingga teman saya pun
mengomel bahwa saya sajanya yang enggak bisa. Bukan yang gimana-gimana atau
malah menghakimi bahwa kamu sajanya yang begitu.
Namanya kehidupan pasti tidak terlepas dari komentar orang
lain. Hal yang pasti pada waktu itu saya tidak membela diri, justru menerima
apa adanya. Sembari menepuk dada, gwencanayo
(tidak apa-apa) kamu hebat kok sudah sejauh ini. Walaupun banyak sekali
yang harus direvisi. Hal yang penting niat saja dulu untuk berubah.
Hingga pada suatu ketika saya melihat buku agenda saya yang
sebelumnya, yaitu rutin sedekah setiap subuh dan tak lupa berdoa untuk
dibukakan pintu hidayah. Itu saja yang diulang-ulang setiap harinya. Walaupun
entah kapan terwujudnya, setidaknya ketika saya menulis cerita ini. Ada sedikit
perubahan dalam diri saya, yaitu memberanikan menulis di tengah padatnya kesibukan.
Bersambung