“Hey, aku harusnya bahagia, kok malah nangis,” batinku
sembari membelah jalanan.
Ketika menghadapi pengulangan tanggal
ke-24 ini, batinku berbicara untuk tidak melakukan hal yang muluk-muluk.
Sederhana, tetapi bermanfaat. Bahkan kalau bisa diisi dengan kegiatan positif
yang mengerahkan segala tenaga.
Sehari sebelumnya aku sudah menyetel
rencana dengan sahabat melalui telepon WhatsApp
yang tersambung. Aku ketahuan bersedih parah lagi, meskipun sudah berusaha
baik-baik saja padanya sembari berbincang. “Nada suaramu enggak bisa bohong,”
tudingnya tepat. “Yaudah lebih baik
engkau habiskan waktu bersama keluargamu saja. Kan itu momen yang langka.”
Rencananya aku ingin melunasi janji
yang belum terbayar karena ia sudah wisuda duluan dan sekalian menghabiskan
waktu di hari spesial besok. Kebetulan pula aku mendapatkan voucher makan
karena berkomentar cerita terbaik. Pas pula tanggal merah yang bertepatan
dengan hari Imlek. Mungkin ini memang rezeki buatku dan bestie, pikirku seketika. Biasanya aku juga sering kabur kalau
sudah hari milad. Suka aja gitu menganggap milad adalah hal yang tidak perlu
dibesar-besarkan. Hanya sederhana dan berbagi. Hal yang tidak kusangka adalah
ketika ayahku berada di rumah pada waktu itu. Aku berpikir sekali lagi untuk
mengajak keluargaku makan bersama. Rata-rata sudah pada kuajak kecuali si
Bungsu dan Ibuku. Bolak-balik kubujuk, hasilnya tetap nihil.
Hanya saja, aku tidak mengerti dengan
perasaanku yang mendapatkan kepedulian dari orang terdekat mengatakan hal buruk
tentang mimpi yang sedang kuperjuangkan. Biasanya aku akan sekuat baja,
mengatakan pada dunia bahwa inilah yang aku perjuangkan dan tidak menyalahkan
siapa pun atas kegagalan selama ini. Hanya saja, entah kenapa rasanya hatiku
begitu lelah. “Apa aku mengikuti apa kata mereka aja ya supaya jalan hidupku
lancar dan enggak ada hambatan seperti yang lain?”
Rasanya, duniaku begitu gelap
seketika. Aku gemetaran dan berjalan dengan lutut yang lemas layaknya saling
mencintai, tetapi tidak direstui. Hal terberat yang pernah aku alami dalam
hidup selain kehilangan diri dan berusaha untuk tidak bangun lagi. Aku terus
berpikir sekali lagi tentang beratnya perjuanganku yang sering kali menangis
saking seringnya dicemohkan pekara pilihan hidup. Memang terlihat seperti tidak
punya pekerjaan dan mudah sakit. Namun aku begitu menikmatinya dan selalu
merasa bahagia. Bahkan tidak merasakan sakit sama sekali, meskipun sebenarnya
aku kesakitan.
Sayangnya, aku tidak mengingat
perjuanganku hanya karena perasaan lelah dan membuat pengumuman di story Instagram yang
mengabarkan haruskah aku berhenti? Pilunya sungguh menusuk, bahkan anak didikku
sekalipun tidak bisa menjadi pelipur laraku pada hari itu. Setelah bertemu
kloter paling sejuk, barulah aku bisa menjadi guru sebenarnya dan kami pun
bermain peran bersama.
Pulang sekolah, aku tak langsung
pulang. Lantas kusandarkan lututku yang sebenarnya masih lemas di hadapan-Nya.
Bertanya sekali lagi tentang ketetapan hatiku. Sembari berharap bahwa intuisiku
selama ini tidaklah salah. Ya, aku ingin menghilang seketika dan sempat melog-outkan akun Instagramku. Namun masih
memikirkan tentang flyer yang sudah
kubuat akan janji Live bersama dengan
sahabat pena sekalian pengumuman giveway.
Laraku berhasil membuat mata bengkak.
Malamnya aku tertidur di ruang tengah
setelah pulang mengaji dengan keadaan masih mengenakan mukena hingga tersadar
ketika aku merasa melihat wajah seseorang di dalam mimpiku. Aku terbangun
sebelum pukul dua belas, tepatnya masih pukul setengah sebelas malam. Aku
berkedip dan seolah ada wajah seseorang lagi di hadapanku. Hingga aku pun
memutuskan untuk menyetrika dan hatiku mulai merasa biasa saja.
Ayah belum tidur dan masih menonton
televisi. Aku mendatanginya setelah memberanikan diri untuk memantapkan diri mencoba
bernegosiasi. Awalnya aku masih belum mendapatkan persetujuaannya karena ia
bilang akan membantu Mama berladang. Namun otakku terus berpikir untuk memberikan
alasan yang relevan dengan dalih mengajak saat jamnya makan siang ketika terik
Matahari sedang meninggi. Sembari mengajaknya untuk riset ke tempat para
pembudidayaan tanaman. Hingga pada akhirnya aku mendapatkan jawaban bahwa ia
mengiyakan tawaranku.
Aku melanjutkan lagi aktivitas
menyetrika sembari mengenakan headset
supaya lebih fokus dan tidak terhasut oleh sekeliling. Biasanya aku tidak bisa
tahan menyelesaikan sampai tuntas jika tidak menonton. Mungkin karena momennya
menuju umur yang kedua puluh empat tahun aku jadi memiliki amunisi dalam
mengerjakannya. Tentunya juga menyetel lagu india ceria, maka jadilah gila
seketika. Menerbitkan senyuman sendiri dan sekalian ketika lelah aku mengganti
rutinitas membersihkan rumah malam itu juga. Orang Jawa bilang sih, pamali jika
membersihkan rumah malam-malam. Namun bagiku tidak berlaku karena aku hanya
memiliki waktu tengah malam dalam berutinitas di rumah. Sehingga nokturnal ini
merupakan kegiatanku sehari-harinya. Bahkan ketika masa halangan tiba, aku tetap
terbangun sendirinya ketika tengah malam tiba. Rasanya romantis sekali, tetap
dibangunkan di sepertiga malam. Apalagi diberikan semangat luar biasa tanpa
rasa sakit.
Aku mengecek e-mail ketika menjelang subuh. Barangkali ada sebuah pesan penting
dari instansi yang sering memberikan informasi. Kedua bola mataku membulat,
setengah tersenyum melihat sebuah pesan yang bertuliskan ‘Selamat Ulang Tahun’
dari Mie Ayam Mahmud dan Juga dari Dicoding. Wew, mereka baik sekali
mengirimiku pesan lebih dulu dibandingkan temanku yang lain. Terus ada potongan
harga pula. Pemikirannku berkelana memikirkan rencana apa yang akan aku lakukan
dari penawaran mereka.
Persepsi seribu candi dalam satu
malam bukanlah hal yang mustahil bukan? Aku selalu bekerja sama sendirian.
Seolah memiliki sisi lain yang tidak kehabisan energi. Namun kali ini aku
berusaha kembali memberikan sebuah contoh, barangkali adikku berinisiatif
membersihkan rumah saat melihatku. Walaupun tak banyak, setidaknya pekerjaan
merasa lebih ringan dan ternyata itu menyenangkan. Meskipun apa yang ia
kerjakan belum tentu sesuai dengan seleraku.
“Loh, Bapak ke mana kak?” tanyanya
setelah melihat kepergian ayah mengenakan style rapi dengan sepeda motor.
Aku berusaha berbaik sangka,
barangkali ada yang sedang ia urusi. Entahlah, hati ini seolah mengatakan hal
itu. Seharusnya kami memang sudah pergi, tetapi aku belum siap bersih-bersih
sejak tadi malam. Secepat kilat aku berganti pakaian saat mendekati jam makan
siang dan benarlah bahwa ayahku kembali di waktu yang tepat. Kemudian segera
memesan reservasi tiga puluh menit dari sekarang.
Ayahku tidak banyak bicara. Namun
langkahku seolah gemetaran ketika ia mau kubonceng dengan sepeda motor. Momen
yang sangat mengharukan sebenarnya bagiku. Antara sedih atau terharu aku pun
tak tahu. Rasanya aku seolah sulit membedakan bahagia atau kesedihan. Ingatanku
kembali kepada masa sekolah Menengah yang ketika itu selalu mengeluarkan air
mata meski dalam keadaan tertawa sekalipun. Bahkan kali ini tak mampu kuucapkan
bagaimana perasaanku sebenarnya. Hal sederhana yang orang lain punya, kini bisa
kurasakan setelah penantian belasan tahun. Bolak-balik aku mengatakan pada
diriku sendiri bahwa Allah itu Maha Baik. Tak selamanya hidupku berupa nestapa.
Aku merindukan masa kecilku, tentu saja. Perasaanku seolah kembali ke masa
kecil. Tentang perasaan syahdu kedekatan putri kecil dengan ayah. Aku berusaha
bilang kalau aku sudah sembuh dan tidak trauma lagi. Ya, lelaki adalah hal yang
paling kuhindari dalam hidupku di masa lalu.
“Hei, aku seharusnya bahagia. Kok
malah nangis sih,” batinku sepanjang perjalanan.
Setelah di sana, aku baru tahu kalau masuk harus scan QR dulu. Kemudian mengatakan keadaan ayahku sebenarnya kepada pelayan di depan pintu masuk. Kemudian kami dipersilakan masuk dan ditunjukkan tempat yang sudah dipesan. Tak menyangka, belum ada menunggu lima menit, pesanan ayahku sudah didatangkan.
Aku
seolah menyaksikan kisah romantis yang berada di telivisi tentang kejutan
ketika makan bersama. Momen getaran mengharu biru jelas masih belum pergi dari
diriku. Perasaanku saat ini seolah pertama kali mendapatkan hadiah dari teman
sekelas saat kelas 6 SD. Menakjubkan dan sungguh sangat bahagia. Ah, bagaimana
bisa aku malah kenyang duluan sebelum menyantap makanan?
Kejutan ini sungguh sangat spesial.
Aku mengirimkan pesan kepada admin Mie Ayam Haji Mahmud untuk meminta bantuannya
memotret kami berdua ketika makan ala candid. Tak selang berapa lama kemudian,
foto itu sudah dikirim dan aku pun tidak tau siapa yang memotretnya. Aku
melihat hasilnya wow bagus banget.
“Kenapa?” tanya ayah.
“Enggak apa,” jawabku setengah
tersenyum.
Pada momen ini aku belajar
mendengarkan, berkomunikasi kembali kepada Ayah. Perasaan penyayang dan
perhatianku seakan kembali lagi. Seolah Allah swt memutarbalikkan perasaanku tanpa
negosiasi. Sebelumnya aku sudah kadung mengeraskan hati karena perasaan seolah
terhianati disebabkan ditingggal saat lagi sayang-sayangnya. Sifat mudah
terluka dan memaafkan dalam diriku emang enggak bisa bohong. Ah, sudahlah.
Setidaknya aku sudah menikmati hidupku dengan baik akhir-akhir dan harapannya
akan menjadi lebih baik lagi. Belajar mendewasakan diri seiring berjalannya
waktu. Bagiku, dewasa itu adalah bijak dalam menghadapi segala hal dalam hidup.
Sekilas tentang hadiah milad ini
adalah hal yang sederhana, tapi sangat berharga bagiku. Menurutku ini hadiah
terbaik yang Allah datangkan dalam hidupku. Selain itu, aku juga bisa mengajak
makan bersama yang ulang tahunnya berdekatan denganku, yaitu Kak Mita di
tanggal 4. Kemudian aku juga bisa melunasi janji pada sahabatku Nurainina
besoknya. Bahkan hal yang tadinya enggak mungkin menjadi mungkin. Fahmi,
adiknya Nurainina juga bisa ikutan makan bersama di sana di hari momen beda hari.
“Hei, rajin banget sih makan di Ayam
Mahmud?” tanyaku pada diri.
“Kan rezekinya di sana. Manfaatin
dong :D.”
Rasanya aku ingin mengucapkan banyak
terima kasih kepada Allah swt yang telah menjadikan tempat Mie Ayam Haji Mahmud
sebagai hadiah paling istimewah di hari milad ke-24. Terima kasih kepada pihak Mie
Ayam Haji Mahmud atas hadiah vouchernya,
pelayanannya, pokoknya semuanya deh.
Oh, iya. Ada satu lagi. Tentang mimpiku, aku harus berjuang
kembali. Hatiku sekarang sudah baik-baik saja dan tidak jadi berhenti.
Ternyata, itu semua ujian bagiku hingga pada akhirnya seolah Allah bilang
padaku untuk tetap berjuang atas keyakinan yang ada pada diri. Ah, hati yang
terbolak-balik siapa tau. Sembari berharap, semoga intuisiku tidaklah salah.
Sampai jumpa di cerita perjalanan
Diary Harumpuspita selanjutnya.