Nguap sedikit udah ketinggalan
zaman, untung enggak beda generasi. Mungkin kalau yang beda generasi ini nih
ketika saya sudah menikah. Hahah, lucu ya. Entah kapan pun nikahnya. Besok
sajalah, kalau enggak kesiangan.
Oke, lebaran pertama bertepatan 1
Syawal 1445 H. Tahu nggak apa yang terintas dalam benak? Banyak banget.
Hal-Hal yang terlintas di dalam
benak ketika lebaran tiba ala Diary Harumpuspita tahun 1445 H.
1. Dosa
Pertama kali
wajib ingat dosa, sebelum diingatin sudah sadar duluan. Hmm, itu bertepatan
tadi malamnya. Pas malam takbiran. Orang-orang bersuka cita meraih kemenangan
sambil mengucap kalimat takbir banyak-banyak. Lah, saya malah teringat dosa
yang masih bergelimpangan. Ingat dosa dan bawaannya minta ampun mulu. Emang
dosa lu sebesar apa sih?
Ya, enggak tahu
sih. Pokoknya kalau hati sakit enggak ketulungan, kan tandanya ada dosa tuh
yang bermuara. Dosa radar budek kalau dipanggil emak bapak. Terus tentang waktu
lagi, masih lalai. Enggak tepat waktu gitu kalau solat karena ketiduran. Itu rasanya
sudah seperti orang kehilangan gaes. Masa iya, azan enggak dengar sama sekali.
Bukannya itu pertanda kalau ada dosa yang menghampiri makanya budek atau
jangan-jangan si setan yang lagi mendominasi. Ah, tuh kan. Ujung-ujungnya
menyalahkan setan lagi, kan menjadi dosa karena berburuk sangka sama setan.
2. Turunin
standar kebahagiaan sampai paling rendah
Bagi saya, adik
itu kayak bestie. Qadarullah, ia kecelakaan ketika malam minggu menjelang
lebaran yang mengharuskan dirinya rehat di kamar. Bersamaan dengan itu kami
menyusulnya dan ternyata sepeda motor mogok dikarenakan tali belting putus dan
ayah saya jatuh dari kereta ketika perjalanan pulang. Alhasil, di rumah pada
bersakitan. Tinggal saya dan adik saya yang paling bungsu terbilang paling
waras.
Sebenarnya saya
tuh masih belum siap saja dengan pertanyaan kapan dan kenapa. Takut-takut
kejadian sebelumnya terulang lagi ketika bertemu dengan orang lain ketika
lebaran. Kalau dulu senangnya bukan main bertemu dengan keluarga yang datang ke
rumah. Tahun ini memang sebaiknya lebih sering ngendap di rumah saja deh biar
lebih aman gitu. Kebetulan adik juga sedang sakit kan, kan jadi ada alasan
nggak ke mena-mana. Walaupun kadang mikirnya gitu, kalau memang saya
ditakdirkan untuk mengalami kejadian serupa seperti tahun-tahun yang lalu.
Bukankah itu pasti terjadi? Ngapain repot, yang penting sekarang ini saya
bahagia walaupun kelihatan random dan absurd sekalipun.
3. Ngebayar
hutang tugas yang belum terselesaikan
Setiap minggu,
saya paling rajin untuk menulis catatan dosa yang harus saya selesaikan.
Alhasil lumayan banyak jugalah kalau dihitung-hitung. Selama masanya kerja,
saya tak punya banyak waktu untuk menyelesaikannya. Pagi, siang, hingga ke sore
saya mendedikasikan diri ke sana. Sementara kalau malam waktunya berkhalwat
kepada Allah. Jadi, liburan ini adalah cara yang paling tepat untuk
menyelesaikan segala hutang tugas.
4. Makna
kesendirian yang terasa banget
Sebenarnya saya
enggak sendirian, ada Allah beserta para malaikatnya. Cuma yang menjadi nyesnya
ini bukan pekara kamu kapan? Tapi lebih kepada, “semoga Henny diberikan jodoh
yang sholeh.” Seketika perasaan saya nyesnya engggak ketulungan, disambut lagi
dengan abang yang ngegodain pasal romansa saya tidak normal dikarenakan belum
pernah pacaran di umur yang setua ini. Tahu ekspresi wajah saya? Masam bukan
main dong ya. Susah benar menjaga diri untuk tidak masuk ke zona perzinaan.
Malah kena kompor, untung enggak meledak sih. Saya tahu dengan diri sendiri
yang sebenarnya kalau urusan perasan itu ngebuat diri lemah tak berdaya. Bahkan
menjadi shaleha sekalipun juga enggak menjamin diri aman dari zona mabuk
asmara. Yah, daripada jatuh ke tangan yang salah mending menjaga diri sampai
akhirnya dihalalin. Bunda Maryam saja bisa menjaga kehormatannya, masa kita
sebagai wanita enggak bisa sih. Hmm, untungnya teman-teman yang lainnya pada
shaleha, jadi radar kuat kalau digoyang dengan pernyataan abang saya bak angin
tornado itu.
Mungkin selama
ini saya sudah ketemu jodoh sebenarnya, cuma memang belum waktunya saja yang
disatuin. Jadi, mohon banyak-banyak bersabar. Pada segmen lain bakalan saya
buat deh kriteria calon pendamping Diary Harumpuspita.
5. Apa
kabar perkembangan diri?
Sebagai orang
yang fleksibelitas, saya tuh suka berpikiran kalau karakter itu bisa diubah
sesuai dengan maunya diri seperti apa. Walaupun butuh usaha yang luar biasa. Enggak terpatok dengan karakteristik zodiak
atau golongan darah. Ya, walaupun setelah diintip-intip juga enggak ada
bedanya. Makanya saya kaget luar biasa ketika mengetahui kalau memang tingkat
kepekaan perasaan itu lebih dominan dibandingkan logika. Beda sendiri soalnya
sama saudara yang lain. Sampai mikirnya begini, ya Allah kenapa hamba berbeda?
Cuma sebaper-baper saya kamu mengatakan nggak mood itu diusahakan jangan
keluar. Ah, iya. Sikap enggak enakkan itu barangkali yang menjadi penyebabnya.
Yah, anggap
sajalah punya perasaan yang lebih dominan itu sebagai kekuatan karena memang
jarang banget ada, karena orang yang enggak peka dalam hidup. Paling dihidupkan
saja tingkat kepekaannya pada hal-hal yang tepat, tapi yang namanya juga hidup.
Capek benar, kalau hidup cuma mikirin perasaan. Ya enggak jalan-jalan. Makanya
cara mengatasinya ketemu orang yang lingkarannya benar-benar positif. Mari
didekati secara ugal-ugalan.
Jadi, mulai lagi
dengan kebiasaan baru untuk membentuk sebuah karakter? Siapa takut.
6. Enggak
beli baju nggak buat galau kok
Sudah dewasa
malah enggak beli baju. Hmm, enggak suka style ya? Kayaknya wanita yang kurang
memperhatikan style dalam hidup adalah saya. Senang banget kayaknya kalau
mengenakan pakaian ala sederhana. Bukanya gimana ya, enggak suka style. Saya
suka style kok, bahkan kepikiran untuk menjadi designer pakaian syar’I ketika
masih kecil. Masalahnya stok pakaian sudah banyak banget di rumah. Takut saja
enggak bisa mempertanggung jawabkannya di akhirat gitu. Yah, walaupun pakaian
yang ada di rumah kebanyakan merupakan hibah, tapi kan itu pakain layak pakai
juga. Mending uangnya buat dibelikan buku atau kasih emak saya saja deh biar
bisa makan enak. #plak.
7. Waktunya
berkarya ugal-ugalan
Tunggu nih, otak
saya tengah berpikir pasal ini. Pada masa silam, saya punya target yang besar
dalam menjalani hari. Kalau setiap hari minimal menghasilkan satu karyalah
begitu. Bahkan sampai di titik puncaknya adalah estimasi satu jam satu artikel
atau satu bab novel. Sampai segitu produktifnya ya kan. Sekarang ini, emang
bisa melakukan hal yang serupa?
Yah, kalau
dibilang serupa sih bisa. Cuma enggak instan saja, ibaratnya baru merangkak
lagi, berjalan, baru bisa berlari. Hihi, kita lihat saja perkembangan nanti.
Bakalan terdistrak lagi nggak ya? Bakalan goyah lagi nggak ya? Atau semangatnya
sama nih seperti buntut tikus.
Oke, itu saja yang
bisa saya sampaikan pada segmen kali ini. Semoga Allah Swt memberikan taufik
hidayah dan bisa terus saya genggam dalam hidup. Semangat berproses. Mari
bertumbuh sesuai dengan maunya Allah dan maunya hati kita, jangan maunya orang.
Enggak tenang hidupnya ntar.