Ada yang lebih
gemilang dari sekadar kata-kata membangun. Ialah perkara perjuangannya
menghadapi kehidupan atau mencapai cita-citanya. Jika kebanyakan orang melihat
puncak yang tinggi untuk mengukur kesuksesan seseorang. Maka izinkanlah
seseorang itu menyaksikan perjuangan yang berbeda dari teman-teman yang lain.
“Bu, saya izin
pakai tempatnya dulu ya,” ucapku pada ibu penjaga sekolah. Kucolokkan kabel
penghubung listrik ke stop kontak. Kuatur sedemikian rupa meja guru supaya
nyaman digunakan dan kubuka aplikasi
berselancar internet setelah memastikan terhubung dengan wifi. Begitu yang
kulakukan setiap kali pulang sekolah atau di saat libur telah tiba. Aku
memutuskan untuk mencari penghasilan tambahan sebagai blogger dibandingkan hanya
mengandalkan gaji honorer. Lagi pula, pekerjaan yang tidak membutuhkan banyak
waktu itu bisa menyediakan waktu menulis untuk orang lain.
Bila orang lain
mencari pemasukan dengan bisnis dan urusan lainnya. Aku menggunakan proses
berpikir kreatif yang kupikir lebih minim pengeluaran. Tak peduli bagaimana
mereka melarangku melakukan hal ini. Aku hanya menyukainya dan berani
memperjuangkannya walau hingga kini hasilnya belum kelihatan di mata mereka.
“Iya Ni, pakai
saja. Nanti kalau sudah selesai dikunci lagi yang pintunya. Sama ibu aman.
Santai,” ucap Ibu Ita menenangkan. Meski kami baru mengenal setahun, tapi
begitu dekat. Apalagi dengan temanku Dwi juga sesama honorer. Sikap saling
melindungi membuat kami bertahan walaupun gaji terkadang belum bisa dianggap
aman untuk kehidupan sendirian.
*
“Apa yang kau cari
Ni? Ngajar di situ hanya buat kau terpuruk. Mending pindah tempat lain sajalah.
Orang lain saja hijrah kalau enggak ada penghasilan. Lah, kau tetap bertahan di
situ aja. Cemanalah hidupmu kalau enggak ada peningkatan,” ucap abangku saat
aku baru saja pulang.
Aku meletakkan
sepatu ke rak dan memasukkan kunci ke dalam tas goni. Sejujurnya aku menyukai
hal ini. Alasanku dulu menerima menjadi guru honorer sekolah dasar adalah
supaya tidak disangka pengangguran saja. Padahal setiap harinya, aku mencari
rezeki dengan cara menulis, membaca, dan mengkreasikan sesuatu yang kubisa. Proses
supaya bisa masuk ke sana hanya modal datang saja dan menyerahkan lamaran.
Rupanya aku diterima walaupun posisinya belum memiliki ijazah sarjana.
Tak ingin aku
mendebat apa yang diucapkan abangku bahkan keluargaku. Diam adalah solusi
supaya tidak terjadi perang dunia.
Aku tahu, punya
perjalanan hidup bukan keinginan orang tua adalah hal tersulit dalam kehidupan.
Bahkan dalam hal rezeki pun banyak yang mempraktikkan radar sulit. Aku dulu
juga begitu, pernah menangis di saat orang mencapai impiannya. Sedangkan aku
tidak. Boro-boro menghasilkan uang. Punya pembaca saja sudah sangat bersyukur. Kini
perjuangan menulis lebih berat lagi. Dilarang dan dikucilkan sudah menjadi
makanan sehari-hari.
“Ah, ntah apa yang
kau kerjakan Ni. Jangan kau menghayal saja. Enggak ada gunanya itu. Kalau
terpuruk terus hidupmu, terserah kau ajalah.”
Ia menyerah dan aku
akhirnya ada perasaan lega yang menyelinap. Lalu pada bulan kemudian ayahku
bertanya padaku setelah aku diam tanpa suara selama dua minggu lamanya.
Kasusnya serupa, masih kudengar kata paling pahit dalam hidupku saat kuberikan
panggilan telepon kepada Mama.
“Hallo Di. Ah, iya
nih. Adikmu sudah kami cegah. Kami kasih obat sebelum malam. Jam enam sore kami
kasih dia obat supaya tidak bisa menulis lagi.”
Lututku begitu
lemas, menyadari kenyataan yang terjadi. Walaupun memang sebelumnya aku
menyadari hal seperti itu. Hanya saja selama ini prasangkaku berusaha positif.
Mungkin bukan itu maksud mereka. Aku semakin diam, menangis dalam kebisuan dan
tak berani melawan. Sebab melawan hanya disangkanya aku sebagai orang gila.
Bagiku, orang gila sesungguhnya adalah orang yang mengatakan orang waras
sebagai orang gila.
Inilah rahasiaku,
tetap patuh. Meski larangan itu terus menghampiri. Berusaha tuli dengan semua
omongan yang menjatuhkan. Lagi pula, apa salahnya menulis? Aku tak menghina
siapa pun bahkan tak menggunjing siapapun. Sesuatu yang kutulis adalah
peleraian kata, mencari solusi, dan beragam hal lainnya. Kalau aku mau, aku
ingin keluar dari rumah ini dan dinikahi oleh lelaki baik yang mendukung
impianku. Namu aku menyadari, jangankan menginginkan hal seperti itu, didekati
oleh lelaki yang seperti itu pun belum ada. Maka, bersabar dan tahan.
Barangkali ada sesuatu lain yang bisa kulakukan untuk membuat hati tenang dan
ikhlas atas segalanya.
“Jadi, kamu mau apa
sekarang?” tanya Ayah menatapku di waktu duha dan menyadari aku telah mendiami
seluruh keluarga seminggu lebih.
“Ni mau jadi
penulis seperti Buya Hamka, Ayah … Ni, mau jadi penulis aja, enggak mau yang
lain,” ucapku di pangkuannya seraya mengalirkan air mata yang sudah menggenang.
Padahal di sebalik keinginanku menjadi penulis, juga menjadi dosen suatu hari
nanti. Aku tahu mereka pun juga akan melarang dengan alasan tidak ada biaya.
Sulit, inilah cinta yang kuperjuangkan. Bagiku indah, meski entah berapa kali
air mata yang keluar. Kadang duka, kadang haru. Aku tak mau mengulangi
kesalahan seperti dulu, mengikuti keinginan orang tua yang tidak kusuka. Pada
akhirnya sakit-sakitan hampir tujuh tahun dan hati meringis. Gelap, itulah
duniaku kala itu. Mengikuti perintah untuk tidak bermimpi tinggi-tinggi.
Ketidakinginan
memiliki mimpi hanya membuatku buta tentang arah yang dituju. Namun semenjak
aku bertemu dengan lelaki fajar tahun 2019, sejak saat itu aku punya mimpi
kembali. Tak peduli kata mereka, selagi itu baik akan terus kuperjuangkan. Kini
lelaki fajar itu memang tak tampak lagi. Namun kalimat perjuangan yang kudengar
selalu menjadi amunisi untuk tetap tegar. “Ni,
kita harus punya impian yang tinggi. Tidak ada siapa pun yang boleh mencegah
impian kita.” Begitulah katanya, merespon pertanyaanku tentang impianku
yang tak didukung.
*
“Ni, makasih ya
sudah menggantikan Ibu selama dua hari. Nanti kalau ibu minta tolong lagi,
bantuin ya.” Ibu Nia menyalamiku selembar kertas berwarna biru. Sebagai tanda usai
kalau aku sudah menggantikan kelasnya. Tak banyak bicara, aku segera
menghampiri Dwi di kelas sebelah.
Aku melakukannya
dan kebanyakan kuterima mengingat mencari uang seribu rupiah dengan cara halal
itu susah. Namun karena memang tidak digaji sampai tiga bulan. Hal yang paling
rendah sekalipun aku bersedia. Hatiku tak cukup kuat untuk menyesuaikan keadaan
dengan apa yang kuazamkan waktu dulu.
Menulis? Hampir setengah tahun aku tidak bisa
melakukan rutinitas itu lagi. Sejujurnya aku rindu. Berusaha memaksa di sekolah
membawa laptop pun percuma. Siswaku tidak bisa diam, disuruh jangan menyentuh
barangku. Malah semakin didekati dan entah apa-apa yang dipegang. Alhasil,
salah satu tombol keyboard nyaris tak
bisa digunakan.
Ibu Arini ternyata
sedang bersama Dwi. Ia menyuruhku untuk menandatangani nominal uang yang akan
diterima. Setelah diterima ternyata hasilnya berkurang dari apa yang tertulis.
Sejujurnya aku bingung saja, Ibu tak menjelaskan sama sekali. Ah, barangkali
nominal yang tertulis itu hasil dari talangan dari bulan lalu. “Jadi Ni, selama
ini penghasilanmu dari mana aja?”
“Enggak ada Bu. Semenjak
saya enggak menulis lagi. Saya enggak punya pemasukan apa-apa. Padahal dulu
duduk-duduk lumayan bisa dapat dua ratus ribu sekali nulis.” Aku tersenyum
sekali lagi. Tak lupa mengucapkan rasa terima kasih. Perencanaanku adalah
mengambil jadwal ngajar di tempat lain. Supaya enggak disuruh gantiin lagi.
Sayang waktunya kalau hanya digaji seikhlas hati oleh mereka. Sementara menulis
di sekolah lagi pun tidak bisa karena sudah ada siswa sekolah. Aku juga ingin
bisa makan enak. Kalau enggak pun, apa aku harus kabur saja dari rumah? Aku lelah
dilarang mulu. Rumah bukanlah tempat ternyaman untuk bertumbuh. “Kak Dwi, kalau
Ni keluar dari sekolah enggak apa kan? Kayaknya aku mau kaburlah dari tempat
ini?”
“Loh, kok gitu Kak?
Kau jangan dulu keluar. Pastikan dulu kalau kau itu sudah diterima di sekolah
lain. Baru keluar dari sekolah. Kalau ada masalah bilang Kak.”
Aku tak bisa
cerita, tak ingin kulibatkan lagi orang dalam masalahku ini. Takut akan terjadi
yang tidak-tidak dan Dwi yang akan disalahkan oleh keluargaku. Aku enggak mau
terjadi, biarlah rasa sakitnya kupendam sendiri.
Kulihat lowongan pekerjaan
guru yang jaraknya tak begitu jauh dari rumah di media sosial. Dua tempat yang
kukirim, tapi tak kunjung juga dipanggil setelah informasi penerimaan guru
Fisika. Aku tahu, pengalamanku menjadi guru sekolah dasar berat menjadi bahan
pertimbangan mereka ditambah lagi sudah lama aku tidak belajar ilmu tentang
Fisika. Hingga suatu hari sebuah informasi dari sahabatku datang.
Ni,
ada temanmu yang baru lulus. Sekolah kami lagi membutuhkan posisi sebagai guru
MM, sains, dan wirausaha di SMA?
Kalau
ada tolong nanti kirimkan lamarannya ke aku via WA-Ricky
Kepalaku mendadak
pusing membaca pesan dari Ricky. Si ketua yang sangat optimis. Dia temanku
semasa kuliah dulu. Kebanyakan aku tidak berkomunikasi lagi dengan teman satu
almameter. Tapi Ricky berbeda, entah kenapa ia masih bersedia menghubungiku. Kuingat-ingat,
temanku kebanyakan sudah bekerja, menikah, dan bahkan ada yang lanjut S2.
Rasanya tipis kemungkinan kalau mereka membutuhkan informasi ini. Untungnya aku
rajin berselancar di media sosial. Salah satu temanku yang dari jurusan
Matematika alhamdulillah akhirnya lulus juga. Paling tidak dia memiliki kawan
saat wisuda atau adik binaannya dulu.
Assalamualaikum
Sudaryani … mau tanya nih. Ada nggak yang mau ngelamar sebagai guru MM, sains,
dan wirausaha di SMA. Kalau ada yang mau kabarin ya. Kriterianya seperti kita
gini, orang-orang yang berusaha takwa. ~Nini
Sebentar
ya kutanyakan dulu sama yang lainnya. Memang model seperti kita nih dicari
banyak orang Ni. Sudar setelah wisuda aja langsung ditarik di sekolah tempat
Sudar lakukan penelitian.
Aku menunggu
jawaban, sembari menghubungkan gawaiku ke wifi dan mencoba mengunduh rekaman
belajar menulis dari komunitas. Ya, aku ingin menulis lagi. Ini waktunya sudah
tepat. Hatiku mantap untuk berselancar dalam dunia tulis menulis. Paket data
terbatas dan wifi sekolah yang
menyelamatkan hingga bisa menghemat di akhir bulan. Rasanya ingin sekali punya
wifi di rumah, tapi kata Mamaku masuknya mahal. Belum lagi biaya bulanannya
juga.
Tak butuh waktu
lama. Sudar memberikan nama-nama orang yang berminat dan akhirnya ada juga yang
menghubungi. Tersisa satu orang bertahan dan langsung kuberikan dokumennya
kepada Ricky secara daring.
Ini
yang MM ya? Sains ada nggak? Kalau ada segera kirim ya.~Ricky
Eh, tunggu. Kenapa enggak
aku saja yang melamar di tempat dia? Walaupun jauh, tapi kan dia yang memang
menginginkanku sejak dulu sebelum tamat kuliah. Sejujurnya hatiku berat. Namun
di sisi lain aku begitu yakin untuk keluar dari lingkaran. Kalau di SMA kan
pengetahuannya lebih luas dan enggak ada tuh istilah digantiin sama guru lain
seenaknya karena beda mata pelajaran. Ah, kucoba dulu buat lamarannya dan
kukirim jawaban disertai emotikon.
Ricky menyadari ada
yang berbeda dari pesanku. Kupikir saat ini ia sudah memahami pembicaraan
melalui kata yang terkirim. Ia sudah banyak berubah setelah menjadi Kepala
Sekolah di SMA. Tidak lagi asal-asalan dalam menyampaikan pesan tertulis.
Setelah hari Sabtu
kukirim lamarannya. Seninnya aku dipanggil ke sekolah Ricky. Ia mengatakan
bahwa perkenalan sebagai teman dan lamaran pekerjaan itu berbeda. Alhasil aku
menerima kuliah panjang hingga tengah hari. Aku bersyukur ia langsung
menerimaku di sekolahnya dan segera kukabari pada Dwi.
Dua tahun bukanlah
waktu yang sebentar. Meski bukanlah ilmu pengetahuan yang berkembang. Namun
cara mengolah kelas yang bertambah. Ibu Kepala Sekolah tempatku mengajar pun
mengizinkanku mengundurkan diri setelah menimbang alasanku keluar begitu kuat.
Selain jurusanku yang tak selinear dan status sebagai guru honorer yang tidak
punya NUPTK. Ia mengatakan bahwa aku memilih keputusan yang baik dengan naik
tingkat ke jenjang yang lebih tinggi. Hatiku girang, walau rasa berat. Ada sebuah
bisikan bahwa ini menjadi batu loncatan supaya bisa menjadi dosen sekaligus
suatu hari nanti.
Aku tak tahu berapa
gaji yang akan kudapat nantinya. Setidaknya, kehidupan SMA sudah lebih
fleksibel dibandingkan sekolah dasar yang harus ekstra pengawasan. Mana tahu,
di sana aku bisa bertemu jodoh kan siapa tahu. Setidaknya, aku bisa menulis
lagi yang sesuai dengan jurusanku.
“Loh, Kakak kok
datang?” tanya Mira sang operator sekolah dan langsung kuserahkan surat
pengunduran diri. “Oh, iya surat ini. Semoga Kakak sukses di sana ya dan jangan
lupakan kami.” Matanya berkaca-kaca.
“Iya, nanti kalau
sabtu libur Kakak mainlah ke mari. Oh, iya mau tanyalah. Ini wifi kita pakai
wifi apa ya?” Kuperhatikan lagi benda bersegi putih berantena berkedip-kedip
hijau yang nempel di dinding dekat pintu masuk kantor. “IndiHome bukan?”
Kudengar dulunya sih begitu.
“Iya Kak.”
“Itu cara masuknya
bayar berapa?”
“Kalau pakai IndiHome
nggak bayar kak masuknya. Langsung bayar bulanannya aja.”
Aku mengangguk
paham jadi semakin yakin kalau suatu hari nanti setelah finansial ada pakai
wifi. “Bulananya berapa tuh?”
“Sekitar dua
ratusan lebih Kak. Bentar ya kutunjukkan dulu ya pembayaran bulan lalu,”
ucapnya sembari menunjukkan nota pembayaran. “Ngapain Kakak pasang wifi kan
sayang kalau di rumah.”
“Kami di rumah
banyak orang. Kalau sampai empat orang per bulanannya seratus ribu. Apa enggak
mahal juga kalau ditotalin.” Kalau pakai wifi
rasanya IndiHome, aktivitas tanpa batas saja tanpa harus memikirkan tinggal
berapa Gigabyte lagi ya di akhir
bulan.
Aku memang tak tahu
nasibku di kemudian hari, tapi satu hal yang dapat kusyukuri dalam hidup. Ranah
penulisan mampu kuperjuangkan lagi seiring berjalan meningkatkanya
keberanianku. Apalagi semakin banyaknya event
menulis, termasuk #IndiHomenulis.